Sabtu, 02 November 2013

TEGURAN BIDADARI SURGA UNTUK ISTRI YANG MENYAKITI SUAMI




TEGURAN  DARI  ‘BIDADARI SURGA’ JIKA SEORANG ISTRI MENYAKITI SUAMINYA


Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
-
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةُ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنْ الْحُوْرِ الْعِيْنِ لاَ تُؤْذِيْهِ قَاتَلَكَ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكَ إِلَيْنَا .
Artinya:
Jika seorang isteri menyakiti suaminya di dunia, niscaya isterinya yang bidadari (di surga) berkata: “Janganlah kamu menyakitinya, semoga Allah memerangimu, sesungguhnya dia di sisimu hanyalah orang yang mampir. Sebentar lagi dia akan menceraikan kamu untuk berpulang kepadaku.”
-
(Hadits Shahih, HR At-Tarmidzi (2/208), Ibnu Majah (6/146), Ahmad (5/242), dll. Dari Mu’az bin Jabal secara marfu’ sampai ke Rasulullah. Di hasankan oleh imam Al-Mundziri dalam At-Targhib (3/78) dan Syeikh Syu’aib Al-Arna’ut dalam Tahqiq Musnad Ahmad. Di shahihkan oleh imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’ (4/47) dan Syeikh Al-Albani (As-Shahihah: 173))
-
Faedah Hadits diatas:
-
1. Hadits diatas menunjukkan bahwasanya Surga telah di ciptakan, begitu pula yang ada di dalamnya seperti bidadari di surga.
-
2. Hadits diatas menunjukkan Seorang istri dilarang  menyakiti suaminya-yang shalih dan berusaha mencari nafkah untuk keluarganya. Hal ini karena adanya teguran dari Bidadari-bidadari Surga (yang sedang menanti suami yang mukmin).
-
3. Hadits diatas juga menunjukkan adanya penantian para bidadari saat ini untuk mendapatkan suami mukmin yang akan menjadi penghuni surga. 
-
4. Hadits diatas juga menunjukkan begitu besarnya hak suami terhadap istri, karena seorang suami berkewajiban memberi nafkah dalam menghidupi kebutuhan istri dan keluarganya.
-
TAMBAHAN:
-
Dalil kewajiban Suami dalam Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik
-
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
-
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34)
-
Syaikh ‘Abdur Rahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Kaum pria yang mengurusi kaum wanita agar wanita tetap memperhatikan hak-hak Allah Ta’ala yaitu melaksanakan yang wajib, mencegah mereka dari berbuat kerusakan. Kaum laki-laki berkewajiban pula mencari nafkah, pakaian dan tempat tinggal kaum wanita.” (Taisir Karimir Rahman)
-
Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa : Makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.
-
Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
-
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
-
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
-
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
-
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
-
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
-
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,
-
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
-
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
-
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
-
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
-
Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
-
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
-
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
-
Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
-
Referensi:
-
Taisir Karimir Rahman Li Abdur Rahman As Sa’di
Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah Li Nasiruddin Al-Albani,
Tafsir Al-Qur’anul Adzim lil imam ibnu Katsir, dll
-
(Lilik I (Abu Utsman))




2 komentar:

  1. Anda jangan menjadikan buku rujukan yang menurut anda bagus, coba lihat dulu, yang menurut anda seykh Al-Albani, seorang syekh yang bisa menshohihkan dan medlo'ifkan hadits, emang siapa dia? kalau anda masih mengikuti tashihan atau tad'ifan ataupun tahsin hadits dari dia, mohon caritahu siapa dia? thanks. and syukron, wassalam

    BalasHapus
  2. DIA ULAMA' WAHABI, TUKANG REPARASI JAM, JADI TUKANG REPARASI HADITS-HADITS NABI DARI ULAMA-ULAMA YANG BETUL-BETUL AHLI HADITS, YANG HAFAL RATUSAN RIBU HADITS, DLL DLL DLL

    BalasHapus