Rabu, 09 Oktober 2013

Canda-Canda yang Dilarang Dalam Islam


Ingat Bercanda Ada Batasannya

Pada dasarnya, bercanda hukumnya boleh, asalkan tidak keluar dari batasan-batasan syariat. Sebab, Islam tidak melarang sesuatu yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh manusia sebagaimana Islam melarang hal-hal yang membahayakan dan tidak diperlukan oleh manusia.

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata :


وقال ابن مسعود خالط الناس ودينك لا تكلمنه
 

“Bergaullah kamu dengan manusia (namun) agamamu jangan kamu lukai.” (Shahih HR Bukhari (5777))

Ada beberapa hal yang semestinya diperhatikan oleh seorang ketika bercanda, di antaranya:

1. Tidak bercanda dengan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hukum syariat-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Musa ‘alaihissalam ketika menyuruh kaumnya (bani Israil) untuk menyembelih sapi.

وإذ قال موسى لقومه إن الله يأمركم أن تذبحوا بقرة , قالوا اتتخذنا هزوا, قال أعوذ بالله أن أكون من الجاهلين

“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.” (QS. al-Baqarah: 67)

Maksudnya, aku (Musa) tidaklah bercanda dalam hukum-hukum agama karena hal itu adalah perbuatan orang-orang yang bodoh. (Faidhul Qadir 3/18)

2. Tidak berdusta dalam bergurau

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

 إني لأمزح ولا أقول إلا حقا

yang artinya, “Sesungguhnya saya juga bercanda dan saya tidaklah mengatakan selain kebenaran.” (HR. Ath-Thabarani dalam al-Kabir dari jalan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakannya shahih dalam Shahih al-Jami’ (4259))

Dalam riwayat lain: Para sahabat yang berkata: Wahai Rasulullah kenapa engkau ikut bercanda-canda dengan kami?, Maka Rasulullah bersabda:
 إِنِّي لَا أَقُول إِلَّا حَقًا  
 "Sesungguhnya saya tidak berkata-kata (dalam bercanda) kecuali kebenaran." (Hasan, HR Tirmidzi, di hasankan oleh Tirmidzi) .

3. Tidak menghina orang lain

Misalnya, menjelek-jelekkan warna kulit seseorang dan cacat fisiknya.

4. Tidak bercanda di saat seseorang dituntut untuk serius

Sebab, hal ini bertentangan dengan adab kesopanan dan bisa jadi mengakibatkan kejelekan bagi pelakunya atau orang lain.

5. Tidak mencandai orang yang tidak suka dengan candaan

Sebab, hal ini bisa menimbulkan permusuhan dan memutus tali persaudaraan.

6. Tidak tertawa terbahak-bahak

Dahulu, tawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah dengan senyuman, Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita sering tertawa sebagaimana sabdanya.

لاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ

“Janganlah engkau sering tertawa, karena sering tertawa akan mematikan hati.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3400, di shahihkan oleh Syeikh Al-Albani).

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Ketahuilah, bercanda yang dilarang adalah yang mengandung bentuk melampaui batas dan dilakukan secara terus-menerus. Sebab, hal ini bisa menimbulkan tawa (yang berlebihan), kerasnya hati, melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memikirkan hal-hal penting dalam agama. Bahkan, seringnya berujung pada menyakiti orang, menimbulkan kedengkian, dan menjatuhkan kewibawaan,

adapun candaan yang jauh dari ini semua, dibolehkan, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu, namun tidak terlalu sering. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya untuk sebuah maslahat, yaitu menyenangkan dan menenteramkan hati orang yang diajak bicara. Yang seperti ini sunnah. (Lihat "Syarah ath-Thibi rahimahullah terhadap al-Misykat 10/3140)

7. Tidak mengacungkan/menodongkan senjata kepada saudaranya

Terkadang, ada orang yang bercanda dengan mengacungkan senjatanya (pisau atau senjata api) kepada temannya. Hal ini tentu sangat berbahaya karena bisa melukai, bahkan membunuhnya.

Sering terjadi, seseorang bermain-main menodongkan pistolnya kepada orang lain. Ia menyangka pistolnya kosong dari peluru, namun ternyata masih ada sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Akhirnya dia pun menyesal karena ternyata masih tersisa padanya “peluru setan” yang mematikan. Namun, apa mau dikata, nyawa orang lain melayang karena kedunguannya.

Ini akibat menyelisihi bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda:

لاَ يُشِيرُ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيهِ بِالسِّلاَحِ ، فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِي يَدِهِ فَيَقَعُ فِي حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ

 “Janganlah salah seorang kalian menunjuk kepada saudaranya dengan senjata, karena dia tidak tahu, bisa jadi setan mencabut dari tangannya, lalu dia terjerumus ke dalam neraka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam :
 مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لأَبِيهِ وَأُمِّهِ ». 

Yang artinya: “Barangsiapa mengacungkan besi kepada saudaranya, para malaikat akan melaknatnya, meskipun ia saudara kandungnya.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi dari Abu Harairah radhiallahu ‘anhu)

Larangan mengacungkan senjata kepada saudara ini bersifat umum, baik serius maupun bercanda. Sebab, manusia menjadi target setan untuk dijerumuskan kepada kebinasaan. Dengan sedikit saja tersulut kemarahan, seseorang bisa tega membunuh saudaranya dengan senjata itu.

Adapun mengacungkan senjata kepada orang zalim yang menyerangnya dan akan membunuhnya, merampas hartanya, atau melukai kehormatannya, boleh bagi seseorang untuk menakut-nakutinya dengan senjata supaya terhindar dari kejahatannya. Apabila upaya menakut-nakuti ini berhasil, selesailah masalahnya. Namun, bila orang zalim itu tetap menyerang, ia boleh melakukan perlawanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم ,واتقوا الله واعلموا أن الله مع المتقين  

“Barangsiapa menyerang kamu, seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (ٍٍََQS. al-Baqarah: 194)

Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita dari bercanda dengan senjata kecuali karena khawatir dari (godaan) setan kepada orang yang beriman. Setan telah mengarahkan perangkapnya kepada orang yang beriman agar terjerumus dalam perkara yang menyeretnya kepada neraka dan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demi menutup jalan berbahaya ini, kita dilarang bercanda yang bisa menimbulkan kejelekan dan menakut-nakuti muslimin atau bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa.

Betapa banyak petaka yang kita saksikan karena candaan yang seperti ini. Misalnya, seseorang bercanda dengan berteriak keras dari belakang punggung saudaranya yang sedang santai atau di sisi telinganya sehingga dia terkejut.

Semisal ini pula adalah mengejutkan seseorang dengan memuntahkan peluru di atas kepala saudaranya untuk menakut-nakuti. Demikian pula mengejutkan orang dengan membunyikan klakson mobil sekeras-kerasnya ketika lewat di sisinya sehingga berdebar-debar jantungnya dan hampir copot. Ada juga mainan ular-ularan yang mirip ular sungguhan yang dilemparkan kepada orang lain yang tidak mengetahuinya,

ia sangka itu ular sungguhan sehingga terkejut dan takut tidak kepalang. Sungguh, candaan tersebut di atas dan semisalnya telah banyak menyisakan kepiluan dan trauma yang mendalam.” (lihat Ishlahul Mujtama’ hlm. 36-37)

8. Mengambil harta orang dengan bercanda

Tidak dibenarkan menurut agama seseorang bercanda dengan mengambil harta atau barang milik saudaranya, lalu dia sembunyikan di suatu tempat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يأخذن أحدكم متاع أخيه لاعبا ولا جدا

“Janganlah salah seorang kalian mengambil barang temannya (baik) bermain-main maupun serius. Meskipun ia mengambil tongkat temannya, hendaknya ia kembalikan kepadanya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)

Sisi dilarangnya mengambil barang saudaranya secara serius itu jelas, yaitu itu adalah bentuk pencurian. Adapun larangan mengambil barang orang lain dengan bergurau karena hal itu memang tidak ada manfaatnya, bahkan terkadang menjadi sebab timbulnya kejengkelan dan tersakitinya pemilik barang tersebut. (Aunul Ma’bud 13/346-347)

9. Tidak menakut-nakuti di jalan kaum muslimin

Menciptakan ketenangan di tengah-tengah masyarakat adalah hal yang dituntut dari setiap individu. Tetapi, karena kebodohan dan jauhnya manusia dari bimbingan agama, masih saja didapati orang-orang yang iseng dan bergurau dengan menakut-nakuti di jalan yang biasa dilalui oleh orang.

Bentuk menakut-nakutinya beragam. Ada yang modusnya dengan penampakan bentuk yang menakutkan, seperti pocongan atau suara-suara yang mengerikan, terutama di jalan-jalan yang gelap. Model bercanda seperti ini sungguh keterlaluan karena bisa menyisakan trauma yang berkepanjangan,

terhalanginya seseorang dari keperluannya, bahkan terhalanginya seseorang dari masjid dan majelis-majelis kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يحل لمسلم أن يروع مسلما

“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, lihat Shahihul Jami’ no. 7659)

10. Berdusta untuk menimbulkan tawa

Apabila seorang bercanda dengan kedustaan, ia telah keluar dari batasan mubah (boleh) kepada keharaman. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah orang yang bercerita lalu berdusta untuk membuat tawa manusia, celakalah ia, celakalah ia.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim dari Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu.
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakannya hasan dalam Shahih al-Jami’)

Ia celaka karena dusta sendiri adalah pokok segala kejelekan dan cela, sehingga apabila digabungkan dengan hal yang mengundang tawa yang bisa mematikan hati, mendatangkan kelalaian, dan menyebabkan kedunguan, tentu hal ini lebih buruk. (Faidhul Qadir 6/477)

Akhirnya, kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diberi taufik dan bimbingan-Nya untuk selalu lurus dalam berbuat dan berkata-kata.

Sumber: Diambil seperlunya dari Majalah Asy Syariah pada artikel berjudul “Bercanda Ada Etikanya” karya Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc. hal. 70, 72-74, dan 88.    (Lilik ibadurrohman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar